Entri Populer

Minggu, 16 Januari 2011

teknik drainase pasang surut

PENANGANAN BERKELANJUTAN BANJIR DAN KEKERINGAN DI JAKARTA
Dr. Ir. Sri Legowo Wignyo Darsono
I. PENDAHULUAN
Wilayah (lahan dan air) merupakan pendukung utama didalam kelangsungan dan perkembangan kehidupan manusia untuk menuju tingkat kesejahteraan dan kemakmuran sempurna / hakiki.
Pemberdayagunaan lahan dan air pada suatu wilayah oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang seperti permukiman, fasilitas umum, budidaya / pertanian (pangan/sandang) telah mengalami tekanan eksploitasi yang berlebihan, melebihi daya dukung wilayahnya.
Akibat eksploitasi wilayah yang berlebih menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, baik fisik: lahan (hutan, permukaan tanah, sungai, danau, rawa) maupun air (permukaan air tanah, mata air, kualitas, kuantitas, distribusi). Upaya pemulihan wilayah dari kerusakan lingkungan dari dan oleh manusia yang bermukim di dalamnya semakin tidak berasa (tidak sebanding) manakala jumlah penduduk semakin meningkat secara ganda (pertumbuhan dan urbanisasi) yang meliputi seluruh wilayah tata lahan dan air (daerah aliran sungai / wilayah sungai) dari hulu, tengah dan hilir.
Terbentuknya tata sistem lahan dan air secara alamiah dan harmonis yaitu suatu daerah aliran sungai (DAS) dengan gunung dan hutan menjulang tinggi yang hijau, serta dataran dan lembah yang dihiasi atau diukir alur anak sungai dan sungai (menampung, membawa, mendistribusikan, mengalir) dengan ukuran yang optimal (pas) merupakan hukum alam (Sunatullah) yang harus dihormati dan dipahami bagi manusia yang memanfaatkan air untuk kelangsungan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan / kemakmuran manusia sebagai khalifah di bumi (keutamaan tugas dari Allah) wajib memelihara bumi dari segala kerusakan termasuk didalamnya.
Tata lahan dan air yang (alami dan harmonis) sebelumnya. Wajib dipelihara oleh masyarakat sesuai UU SDA No. 7 tahun 2004, yaitu Konservasi, menjaga kelangsungan keberadaan air pada lahan yang memenuhi unsur: tepat waktu, kuantiítas dan kualitas, sehingga tidak menimbulkan banjir dan kekeringan didalam DAS itu sendiri.
Akan tetapi pengelolaan SDA (konservasi, pendayagunaan, pengendalian) yang telah kita lakukan di DAS-DAS sekarang ini belum berhasil optimal bahkan menuai bencana banjir dan kekeringan yang rutin, yang membawa kerugian harta benda dan jiwa yang tak bernilai harganya, seperti banjir dan kekeringan di Jakarta dan ditempat lain.
II. GEOGRAFIS JAKARTA
Secara geografis Jakarta yang merupakan Ibu Kota Negara kita terletak dimuara banyak sungai (13 sungai) diantaranya (Sungai Mokervart, Angke, Pasanggrahan, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Cipinang, Sunter, Buaran, Cakung) yang merupakan rawa-rawa (Rawa Badak, Buaya, Jati, Mangun dll). Dataran rendah dengan elevasi -1,0 sampai dengan + 3,0, Jakarta Pusat sampai Jakarta Utara merupakan tepat genangan air (retensi basin), karena air tidak bisa keluar secara gravitasi tertahan air pasang.
DAS ke 13 sungai diatas membentuk wilayah sungai (gabungan sungai) yang berbentuk kipas kerucut (gunung) dengan mahkota puncak Sub DAS Ciliwung (± 150 km2). Bentuk wilayah sungai demikian sebenarnya mengindikasikan secara alamiah Jakarta seharusnya tidak banjir, karena air hujan dari hulu akan tersebar luas (melebar) ke hilir / muara. Hal tersebut menjadikan penetapan pusat kegiatan kerajaan Jayakarta yang selanjutnya berubah Batavia (Jaman Belanda) dan terakhir menjadi Jakarta.
Perkembangan terkini (singkatnya) Jakarta tidak mempunyai muara dan rawa yang memadai. Rawa terakhir menjadi pusat pemukiman / bisnis seperti Pantai Indah Kapuk dan Kelapa Gading, Jakarta juga tidak mempunyai bantaran sungai, bahkan alur utama menyempit diserbu penduduk Jakarta yang hampir 10 juta jiwa. Jakarta tidak mempunyai sarana prasarana drainase yang cukup (poorly drainage).
Dibagian tengah DAS sungai-sungai yang bermuara di Jakarta adalah kota Depok Kabupaten / Kota Bogor, juga padat penduduk dan pusat pertumbuhan, pusat pemukiman di Cibubur, Sawangan, Bekasi dan lain-lain, yang menyebabkan situ dan lembah serta kawasan terbuka / lindung (daerah resapan air) hilang / habis akibat beralih fungsi menjadi lahan kedap.
Pada bagian hulu DAS Ciliwung yang mencakup wilayah Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) akhir-akhir ini menjadi pusat Villa (bertumbuh 1000 Villa sejak tahun 2000), serta pemukiman umum, yang menjadikan DAS Ciliwung tidak lagi mempunyai daerah tangkapan air atau resapan, sebagai pengendali bahaya banjir dan kekeringan bagi Jakarta.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan wilayah Jakarta secara geografis sebenarnya sangat menguntungkan / strategis (right place) dekat air (muara / laut) sebagai pusat kegiatan (permukiman, Pemerintahan, Bisnis) dan akses keluar / kedalam, akan tetapi akibat pengunaan lahan (DAS dan wilayah Jakarta) yang tidak terkendali, Jakarta tidak lagi mempunyai daya dukung dalam pengendalian banjir baik banjir lokal maupun kiriman, sementara itu karena air hujan terbuang percuma sebagai banjir, Jakarta terancam kekurangan pasokan air tanah.
III. BANJIR JAKARTA
Sekurang-kurangnya dalam 15 tahun terakhir (1993 – 2007) ada 4 kejadian banjir besar di Jakarta.
1. Tanggal 9 dan 10 Januari 1993, banjir Kali Angke, menyebabkan jalan Tol Gengkareng dan kawasan permukiman Jakarta Utara / Barat (Pantai Indah Kapuk) tengelam setinggi 50 cm. Hujan yang terjadi tercatat ± 75 mm (hujan rencana Jakarta periode ulang 5 tahun ± 150 mm)
2. Bulan Pebruari 1996 Kali Ciliwung banjir, mengenangi Kampung Melayu, Bidara Cina, Cawang, Kebun Waru dan Bukit Duri dengan tinggi genangan 5–6 m, luas genangan 5200 ha, hujan yang terjadi ± 231 mm selama 5 jam.
3. Tanggal 26 januari hingga 1 Pebruai 2002 sungai Ciliwung dan lainnya meluap, menggenangi wilayah Jakarta dan sekitarnya; banjir akibat hujan selama 7 hari berturut-turut berjumlah ± 798 mm, yang mengenangi Polder Sunter Timur, Setiabudi Timur, Rawa Kelapa, Tomang barat, IKPN, Bintaro, Polder Pluit, Cikini, Kwitang, Gambir / Monas, Istana Negara, Jln. Thamrin. Tinggi genangan sekitar 0,5 – 2,0 m.
4. Tanggal 4 – 14 Pebruari 2007 yang lalu terjadi banjir yang lebih besar akibat hujan sebesar ± 230 mm berturut-turut 3 hari hampir 70 % kawasan Jakarta (total DKI ± 1400 km2) tengelam 0,30 – 6 m kerugian mencapai 8,8 trilyun rupiah (infrastruktur pemerintah 5,2 trilyun rupiah dan 3,6 trilyun rupiah pendapatan hilang) dan 48 jiwa melayang. Hampir 1 milyar m3 air merendam wilayah Jakarta atau setara debit ± 11575 m3/det. Debit tersebut sumbangan dari seluruh sungai yang bermuara di Jakarta.
Dari kejadian banjir besar di Jakarta sejak 1993 sampai dengan 2007, bahwa banjir Jakarta mempunyai karakteristik pengulangan 4–5 tahun dan cenderung lebih cepat lagi dan genangan semakin luas dan dalam. Kejadian banjir Jakarta sebabnya dapat diramalkan (predictible).
Banjir yang selalu terjadi di Jakarta merupakan ancaman yang serius bahkan cenderung menjadi rutin (latent). Hal tersebut harusnya menjadikan pemikiran seluruh komponen bangsa, karena Jakarta merupakan Ibu Kota Negara, tempat tumpuan masyarakat mencari kerja juga merupakan jendela mata dunia.
IV. PENANGANAN / PENGENDALIAN BANJIR
Penanganan banjir adalah upaya untuk menghilangkan atau mencegah tidak terjadi banjir sama sekali, merupakan upaya yang menghasilkan penyelesaian paripurna / tuntas masalah banjir. Sedangkan pengendalian banjir adalah upaya mengurangi banjir sebagian yang tidak mengakibatkan bahaya atau kerugian berarti.
IV.1. Penanganan Berkelanjutan Banjir dan Kekeringan di Jakarta
Penanganan Banjir Paripurna Jakarta Pendekatan penanganan banjir hampir tidak mungkin untuk Jakarta karena infrastruktur drainase alami : bantaran, alur sungai, muara / outlet sudah sangat rusak. Konsep penanganan banjir Jakarta secara paripurna pernah disampaikan oleh bapak Prof. Dr. Ir. Sugandar, M.Sc. dan pernah di diskusikan secara intensif dengan pihak Departemen Pekerjaan Umum dan Pemda DKI. Konsep yang diberi nama ”Smart Consept” yang intinya membuat ”lidah Laut”. Lidah laut adalah bagian laut yang menjorok / menjilat ke daratan. Lidah laut ini sebenarnya adalah muara raksasa yang merupakan integral muara-muara alami sungai yang memantus kawasan Jakarta.
Jika dihitung lebar dan luasnya lidah laut yang diperlukan, hampir separuh wilayah Jakarta, menjadi lidah laut, atau menjilat sampai ke Monas. Memang Monas ke utara dulu merupakan muara sungai-sungai purba Jakarta.
Konsep pintar dari Prof. Sugandar tersebut sekarang menjadi arsip (dokumen) penting yang sewaktu-waktu bisa sebagai senjata pamungkas, jika segala cara / upaya tidak mampu menangani banjir Jakarta. Yang terpenting kita tidak putus asa (hopless), tetapi tetap optimis, sekalipun kerja kita seperti menggantang asap (jobless). Penyebab utama kurang berhasil penanganan banjir diantaranya kurang integrated, komprehensif, koordinatif, partisipatif stakeholders dan sustainable
IV.2. Pengendalian Banjir Jakarta
Banjir adalah terjadinya luapan air keluar alur sungai. Pengendalian banjir merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengupayakan agar tidak terjadi banjir. Bertolak dari pengertian tersebut, maka filosofi kegiatan pengendalian banjir meliputi dua kegiatan pokok yaitu :
• Mengurangi volume air yang lewat
• Memperbesar daya tampung (kapasitas) alur sungai.
Untuk daerah dataran seperti kota-kota besar yang terletak didaerah hilir/pantai, penyebab utama terjadinya banjir dan genangan ditimbulkan oleh banjir kiriman dari hulu dan banjir lokal akibat air hujan yang tidak dapat dipatus atau dibuang ke sungai.
Dengan demikian, untuk daerah-daerah hilir kegiatan pengendalian banjir dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu:
• Mengurangi volume air banjir kiriman hulu
• Memperbesar daya tampung kapasitas alur sungai
• Menurunkan potensi terjadinya banjir lokal
Dengan demikian secara teknis kegiatan pengendali banjir adalah sebagai berikut:
• Perbaikan alur sungai, tanggul atau tembok banjir untuk menampung banjir di dalam alur
• Saluran pengelak banjir untuk membelokan sebagian atau eluruh air dari aluir alami sungai
• Waduk penampung di hulu atau kolam retensi untuk menurunkan puncak banjir
• Sistem drainase pembuang untuk mengalirkan air banjir dari daerah yang rawan banjir.
• Sistem polder untuk menampung air dari saluran drainase yang tidak dapat mengalirkan airnya secara gravitasi ke sungai yang selanjutnya dipompa ke laut
IV.2.1. Tanggul Dan Dinding Penahan Banjir.
Tanggul dan tembok banjir adalah penghalang sepanjang alur sungai yang direncanakan untuk menahan air banjir dalam alur sungai yang ada dan menghindari tumpahan keatas tanah rendah yang berdekatan. Tanggul dan tembok banjir berfungsi untuk melindungi fasilitas-fasilitas pada dataran banjir termasuk pemukiman, pengembangan industri dan pertanian. Tanggul biasanya dibangun dari tanah dan tembok banjir dibuat dari beton, pasangan batu dan baja. Tanggul dan tembok banjir sering merupakan bangunan pengendali banjir yang paling ekonomis, jika tempat dataran banjir cukup jauh dari alur sungai, memungkinkan regim sungai akan mendekati alami. Tanggul atau tembok banjir menjadi cara pengendalian banjir yang efektif dengan bangunan yang memadai dalam keadaan berikut :
• Pada sungai yang besar dimana terdapat dataran banjir yang lebar dengan sedikit atau tanpa permukiman atau pengembangan industri di dekat sungai
• Pada suatu daerah atau wilayah perlu perlindungan lokal.
• Pada daerah pantai dimana banjir dipengaruhi air pasang

Sketsa Dinding Penahan Banjir

Skema Tanggul pada Lokasi Meander

Sketsa Pengelolaan Sungai dengan Tanggul
IV.2.2. Perbaikan dan Pengaturan Alur Sungai
Pekerjaan perbaikan dan pengatuaran alur sungai dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas angkut dari alur alami, atau memungkinkan elevasi air banjir lebih rendah daripada yang terjadi alami. Pekerjaan perbaikan dan pengaturan alur sungai menyangkut hal berikut ini :
• Pendalaman dan atau pelebaran alur (termasuk pengerukan)
• Mengurangi kekasaran alur.
• dekan alur (sodetan) Pelurusan atau pemen
• Mengatur pola aliran
• Pengendalian erosi
• Pengerukan
• Secara skematis Pekerjaan perbaikan dan pengaturan alur sungai digambarkan sebagai berikut:

Sketsa Perbaikan Alur Sungai
IV.2.3. Pengelak Banjir
Pengelak banjir adalah pembuatan suatu saluran yang berfungi untuk membelokan sebagian atau keseluruhan aliran sungai (membagi debit) untuk dialirkan dalam suatu saluran yang menjauhi kota. Pengalihan aliran ini dapat dikembalikan lagi di sungai induk di hilir kota, dialirkan langsung ke laut atau dipindahkan kealiran sungai tetangganya yang masih dapat menampung. Bangunan ini sering berpintu dan ditempatkan sebagai berikut :
• Jika dasar sungai alam lebih rendah atau pada elevasi yang sama dengan dasar saluran pengelak, bangunan pengendali berpintu sering ditempatkan pada alur sungai alami dihilir pintu masuk saluran. Dengan demikian air bisa dibelokan ke alur alami selama periode aliran rendah untuk memenuhi kebutuhan air di bagian hilir.
• Jika alur pengelak pada elevasi yang lebih rendah dari dasar sungai alami bangunan berpintu (misalnya bendung pelimpah) kadang-kadang ditempatkan pada pintu masuk saluran, dan direncanakan untuk membelokan dari sistem sungai sejumlah debit yang bisa dikontrol.

Sketsa Saluran Pengelak Banjir
IV.2.4 Waduk Pengendali Banjir (Flood Control Reservoir)
Waduk pengendali banjir adalah bangunan yang berfungsi menahan semua atau sebagian air banjir dalam tampunganya dan mengalirkan sesuai dengan kapasitas sungai. Sistem spillway umumnya dibangun sebagai bagian dari waduk, dimana berfungsi untuk melepaskan bagian banjir yang tidak bisa ditampung. Tampungan puncak banjir dalam waduk akan mengurangi debit dan elevasi muka air banjir dibagian hilir waduk.
Tingkat perlindungan banjir dari waduk ini tergantung dari hubungan beberapa faktor yaitu karakteristik puncak banjir, kapasitas tampungan dan operasi bangunan outlet spillway. Waduk yang lebih besar mampu untuk menampung seluruh volume banjir, yang dapat disimpan untuk kegunaan di masa yang akan datang secara terkendali. Waduk yang lebih kecil hanya bisa menampung sebagian volume banjir, tetapi dapat meredam puncak inflow, sehingga terjadi pengurangan outflow melewati spillway.
Dalam beberapa kasus spillway berpintu atau bangunan outlet memungkinkan operator untuk menurunkan muka air waduk sebelum terjadinya banjir, sehingga tersedia kapasitas tampungan tambahan untuk menampung banjir (misalnya: Dam Sutami dan Wonogiri). Peramalan dan pemantauan banjir yang andal adalah perlu untuk mendapatkan keuntungan penuh dari tampungan banjir yang tersedia, baik di bawah atau di atas elevasi muka air waduk pada keadaan untuk beroperasi penuh.

Sketsa Waduk Pengendali Banjir
IV.2.5. Waduk Retensi
Waduk retensi digunakan untuk menampung dan menahan sebagian atau semua air banjir dihulu wilayah yang rawan banjir, tampungan bersifat sementara dan berpengaruh mengurangi laju aliran dan tinggi muka air banjir dibagian hilir daerah pengaliran sungai. Seperti waduk-waduk yang lain, tingkat pengurangan banjir tergantung pada karakteristik hidrograf banjir, tersedianya volume tampungan, dan dinamika tiap bangunan yang berkaitan dengan waduk pengendali banjir serta bangunan outlet. Bendung urugan ketiggian rendah atau bendung pengelak kadang-kadang dibangun melintang alur air untuk membelokan aliran ke waduk retensi.

Sketsa Waduk Retensi
Spillway dan fasilitas outlet yang memadai disediakan untuk melindungi bendungan dari overtoping dan untuk pengendalian debit dari waduk, dalam beberapa kasus air dibelokan ke tanah pertanian yang lebih rendah dibelakang tanggul, outflow bisa dikontrol dengan banguanan berpintu yang digabung dengan tanggul. Waduk retensi sering sangat sesuai untuk aliran banjir bandang (banjir besar yang datang secara tiba-tiba), umumnya memerlukan lahan yang relatif luas berdekatan dengan sungai dan harus mempunyai volume tampungan yang memadai untuk menampung puncak banjir yang masuk.
Lokasi yang cocok untuk waduk retensi biasanya di dataran rendah, termasuk rawa-rawa dan daerah pertanian.
IV.2.6. Sistem Drainase Pembuang
Sistem drainase ini berfungsi untuk memindahkan air dari daerah rawan banjir akibat drainase alam yang jelek atau gangguan manusia. Drainase sistem grafitasi bisa terdiri dari alur terbuka atau pipa terpendam yang outletnya ke alur air alam. Sebagai tambahan pompa diperlukan jika tinggi muka air dalam alur penerima air terlalu tinggi atau terpengaruh oleh fluktuasi yang disebabkan oleh banjir atau air Pasang.
Bangunan outlet dari sistem darainase pembuang ini bisa terdidi dari bangunan outlet dengan sistem gravitasi atau pompa.

Sketsa Sistem Drainase Pembuang
IV.2.7. Sistem Polder
Sistem polder adalah suatu sistem dalam pembuangan air banjir disuatu daerah yang tidak dapat mengalirkan secara grafitasi ke alur sungai atau langsung keiaut karena pengaruh pasang. Dengan adanya tanggul dikiri dan kanan sungai maka daerah rendah sepanjang sungai tidak dapat mengalirkan airnya secara grafitasi kesungai tersebut, dengan demikian daerah-daerah ini akan merupakan daerah tertutup yang disebut dengan istilah Polder. Drainase didalam daerah polder ini harus dilakukan dengan menampung didalam waduk dan selanjutnya pembuangnya dilakukan dengan pemompaan atau menunggu surutnya muka air sungai / laut.

Skema Sistem Polder
V. STUDI BANJIR JAKARTA
1. Karakteristik Banjir Sungai Ciliwung (Banjir Kiriman)
Hasil studi dari Dr. Ir. Tunggul Sutan Haji (Desertasi S3 tahun 2005) mengenai perubahan tata guna lahan di Sub DAS Ciliwung hulu dengan titik outlet bendung Katulampa (Ciawi) menunjukan bahwa perubahan debit banjir puncak (Qp) sangat dipengaruhi oleh hutan sisa; dari luas hutan 80 % berkurang menjadi 60 %, debit banjir meningkat 15 %. Akan tetapi jika luas hutan sisa dari 60% ke 40 %, debit banjir puncak meningkat dengan sensitif 50 %.
Hasil studi tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan di Sub DAS Ciliwung hulu (Bopunjur) perlu dipertahankan pada nilai optimal ± 60 %.
Tahun 2000 luas hutan masih ± 64 %, namun prediksi tahun 2010 dengan laju permukiman seperti sekarang, hutan di Bopunjur tinggal 45,6 %, yang dapat menyebabkan debit banjir kiriman ke Jakarta sebesar ± 1000 m3 / det untuk hujan 100 mm. Dengan adanya kejadian hujan tanggal 4, 5, 6 Pebruari 2007 yang mencapai ± 230 mm (periode ulang 20 – 25 tahun), maka banjir kiriman dari Sub DAS Ciliwung hulu mencapai 2300 m3/det (ini setara dengan kondisi banjir tahun 1996)
Banjir besar tanggal 4 Pebruari 2007 yang mengenangi 70% wilayah Jakarta disebabkan hujan merata seluruh DAS dari 13 Sungai dan sekitarnya (Sungai Cisadane, Cibeet / Kali Bekasi) dengan total luas DAS ± 750 km2 atau 5 kali sub DAS Ciliwung Hulu (± 150 km2), sehingga debit mencapai ± 11.500 km3/det .
2. Banjir Lokal
Hasil studi Ir. Arfin, MT (alumni S2 Magister PSDA ITB Tahun 2002) menyebutkan debit banjir rencana 1 tahun sampai dengan 100 tahun adalah :

Hanya sungai Ciliwung yang mempunyai bentuk DAS memanjang ± 127 km, sedangkan sungai lainnya kurang dari 60 km. Jika hujan merata seluruh DAS maka justru menjadi penyebab utama banjir di Jakarta, seperti peristiwa banjir tanggal 04 Pebruari 2007 yang lalu. Karena luas DAS 12 sungai-sungai panjang sedang (< 60 km) yang mempunyai luas ± 750 km2 , yang menyumbang debit banjir lokal jakarta ± 9.200 km3/det 3.
3. Efek Amblasan Tanah (Land Subsidence) dan Kenaikan Muka Air Laut (Sea Water Level Rising).
Studi dari Dr. Ir. Bambang Priyambodo (Desertasi S3, Tahun 2005) tentang dalam, lama dan luas genangan banjir Jakarta dipengaruhi faktor internal dan ekternal, dimana faktor internal mempunyai pengaruh 80 – 90 %.
Pengaruh internal (lokal) adalah kondisi fisik Jakarta berikut prasarana dan sarana drainase.
• Muka tanah jakarta mengalami subsidence akibat turunya muka air tanah. Data yang dicatat pada BM monitoring di jalan Tongkol Jakarta (Kantor Monitoring Air Tanah Jakarta, Direktorat Geologi Tata Lingkungan Dep. ESDM) sudah menunjukan angka penurunan tanah paling tidak 100 cm (BM dipasang tahun 1975). Subsidence tanah Jakarta menambah dalam genangan air.
• Drainabilitas rendah karena energi gravitasi kurang dapat mematus genangan air dari kawasan Jakarta ke laut (Teluk Jakarta). Kemiringan energi atau gradien hidraulik hanya berkisar 5 10-4, sehingga aliran lamban dan mengenang.
• Pasang air laut yang semi diurnal menyebabkan aliran tidak terjadi setiap saat, sehingga air terbendung (terblok) oleh laut yang pasang paling tidak 2 x 4 jam / hari. Air yang tertahan menjadi genangan tambahan selama 8 jam/hari atau hampir tersumbat 33 % dari seluruh waktu.
• Kenaikan muka air laut (MSL) akibat pemanasan global (efek rumah kaca) rata-rata 0,5 oC / 10 tahun menyebabkan gunung es di kutub mencair. Hasil studi literatur Dr. Ir. Bambang Priyambodo menyimpulkan kenaikan MSL masih relatif kecil, dalam waktu 20 tahun terakhir kenaikan masih dibawah 10 cm, akan tetapi cenderung bertambah. Kenaikan MSL tersebut sekalipun tidak signifikan, tetapi berpengaruh terhadap kelancaran air ke laut, sehingga waktu air keluar semakin berkurang waktunya menyebabkan genangan air di Jakarta lebih lama dan dalam
4. Kapasitas Outlet dan Tanggap Banjir
Adalah Ir. Arfin, MT. (Tesis S2 tahun 2002) Alumni Program Magister PSDA ITB melakukan studi debit banjir sungai-sungai di Jakarta, dalam kaitan pengendalian banjir DKI Jakarta.
Sistem pengaliran sungai di wilayah Jakarta dibagi menjadi 3 sistem yaitu sub sistem barat, sub sistem tengah, sub sistem timur.
1. Sub sistem barat meliputi Sungai Mokervart, Sungai Angke dan Sungai Pasanggrahan yang mengalir ke Cengkareng
2. Sub sistem tengah meliputi Sungai Ciliwung, Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol dan Sungai Sekretaris yang mengalir ke Bajir Kanal Barat (BKB)
3. Sub sistem timur meliputi Sungai Cipinang, Sungai Sunter, Sungai Buaran dan Sungai Cakung yang seharusnya mengalir ke Bajir Kanal Timur (BKT) yang saat ini sedang dilaksanakan.
Total kapasitas outlets sistem pengedali banjir adalah (Full excecuted)
• Cengkareng Drain : 390 m3/det
• Banjir Kanal Barat : 400 m3/det
• Drainase Grogol : 70 m3/det
• Pluit Polder : 28,6 + 16 m3/detik (tambahan 4 pompa baru)
• Drainase Sunter : 190 m3/det
• Dinase Cakung : 180 m3/det (jika selesai)
• Jumlah : 1.274,6 m/det
• Banjir Kanal Timur : 400 m3/det
• Total Kapasitas : 1.674,6 m3/det
Lebih lanjut saudara Arfin melakukan penelusuran banjir (flood routing) untuk banjir lokal sebagai inflow; outflownya adalah kapasitas outlet / muara dan tampungannya adalah kapasitas waduk-waduk (17 waduk) dan 18 situ dengan total tampungan 2,45 juta m3.
Hasil penelusuran tersebut menunjukan bahwa apapun debit banjir lokal rencana, Q2t = 1282 m3/det sampai Q 100 th = 2239 m3/det dengan kapasitas outlet seperti diatas, Jakarta tetap tergenang air dengan tinggi genangan 0,25 – 1.0 m dan luas genangan 20 – 70 km2 serta lama genangan 10 – 43 jam
Simulasi juga dilakukan untuk KBT dianggap selesai dengan kapasitas 370 m3/det, menghasilkan genangan 20 – 28 cm untuk debit banjir lokal rencana 15 – 20 tahun dengan lama genangan antara 3 – 7 jam.
Sementara itu kapasitas aktual debit alur muara sungai di wilayah jakarta (Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Krukut, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Cakung) berkisar 20 – 100 m3/det atau total hanya 370 m3/det, dimana kali Ciliwung mempunyai kapasitas terbesar ± 100 m3/det. Rencananya kapasitas debit sungai-sungai tersebut akan dinaikan menjadi 5 kalinya atau menjadi 1850 m3/det. Kapasitas rencana tersebut akan mampu mengalirkan debit banjir lokal periode ulang 20 – 25 tahun (data PWS Ciliwung – Cisadane 2002)
5. Penelitian Fasilitas Drainase Kawasan Pantai
Hasil penelitian drainase kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Palembang, Pontianak, Medan menunjukan prasarana dan sarana drainase kota-kota tersebut kurang tanggap terhadap banjir air balik (back water) akibat pasang Laut (Dr. Ir. Sri Legowo WD., dan Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, tahun 1992).
Kapasitas drainase kawasan pantai tidak bisa dihitung atau ditetapkan berdasarkan aliran seragam. Efek muka air laut (kecepatan nol), aliran di muara menjadi tidak seragam (non uniform). Penampang muara sungai / saluran drainase bertambah melebar secara lambat laun (gradually) ke arah laut. Perluasan penampang basah dimuara tidak efektif jika dilakukan dengan memperdalam muara, tetapi lebih efektif memperlebar alur.
Cara efektif adalah dengan cara memperlebar muara sungai alami yaitu seperti lidah yang menjulur dari laut ke darat (lidah laut). Hasil penelitian juga menunjukan kapasitas sungai atau saluran drainase harus diperbesar akibat aliran tertahan pasang laut untuk menampung volume air selama waktu pasang.
Besar penambahan penampang sebanding dengan air yang berhenti akibat air pasang, jika waktu pasang efektif terhadap gangguan kecepatan diketahui, maka kapasitas tampungan jaringan didapat dengan integral dari kapasitas debit terhadap waktu pasang efektif atau V =∫Qdt. Kapasitas tampungan sungai / drainase harus tanggap atau mampu menampung air selama pasang laut.
6. Sumur Resapan, Waduk Resapan dan Sabuk Resapan
Upaya untuk mengurangi limpasan langsung (DRO) atau air hujan yang masuk ke sistem pembuangan, telah dilakukan penelitian secara intensif banyak pihak seperti sumur resapan (UGM, Pusair), waduk resapan (Ristek, UI, ITB, MAI), sabuk resapan (KK TSA ITB).
• Sumur Resapan. Sumur Resapan telah teruji dan disosialisasikan ke lapisan masyarakat untuk partisipatif membuat sumur resapan di halaman rumah atau pekarangan. Bahkan untuk Wilayah DKI telah dibuat PERDA yang mewajibkan masyarakat DKI, Kantor Pemerintah, Swasta membuat sumur resapan. Akan tetapi dengan kondisi ekonomi masyarakat yang tidak merata, realisasi sumur resapan belum sesuai dengan harapan. Sumur resapan ini sebenarnya bisa mengurangi DRO dan meningkatkan cadangan air tanah.
• Waduk resapan. Waduk resapan sejak 2003 secara intensif diteliti bersama Kementrian Ristek, UI, ITB dan Masyarakat Air Indonesia (MAI). Seminar atau Semiloka guna sosialisasi telah dilakukan dan hasilnya telah dibuat model fisik skala lapangan di Kampus UI Depok tahun 2006 dengan biaya Departemen PU. Saat ini dalam masa pemeliharaan. Pembuatan model lapangan ini untuk penelitian lebih lanjut guna melengkapi hasil-hasil penelitian teori dan simulasi. Dasar waduk resapan harus permeable yang bisa berhubungan langsung dengan sistem aquifer air tanah dangkal maupun dalam. Jadi dasar harus digali sedemikian, sehingga ketemu lapisan berpasir, pasir atau berkerikil. Permeabilitas lapisan pasir / kerikil mempunyai nilai tinggi (10-5 – 10-4 m/det), sehingga dapat mempercepat proses infiltrasi atau perkolasi air permukaan ke dalam lapisan tanah. Permeabilitas tanah permukaan (top soil) sebagai media infiltrasi alami umumnya setara dengan tanah lempung yang nilai koefisien permeabilitasnya 10 pangkat-6 sampai 10 pangkat -8 m/det. Dengan demikian, waduk resapan mempunyai kapasitas resapan 10 – 100 kali lebih cepat dari top soil. Waduk resapan dapat dibuat dengan ukuran kecil 1- 5 ha, untuk kawasan permukiman umum dan realestate pengembang, dengan kondisi geologis berpasir. Sumber air bisa air hujan dari sekitar waduk resapan (hinter land) maupun dari sungai/kali dengan saluran pembawa. Waduk resapan berfungsi ganda yaitu mengurangi banjir dan menjaga / konservasi air tanah. Lokasi waduk resapan lebih tepat di bagian tengah DAS. Contoh DAS Ciliwung, lebih tepat di Depok, Cibubur, Parung.
• Sabuk Resapan. Sabuk resapan adalah memanfaatkan tanah miring yang sudah diatur (terasering). Pada bagian tepi teras bagian bawah dibuat galian selebar 2–3 m dalam 0,6 – 1,0 m melingkar mengikuti kontur tanah. Dengan demikian saat hujan limpasan hujan dapat tertampung pada sabuk sepanjang kontur tanah tersebut dan mempunyai waktu untuk meresap kedalam tanah sebanyak-banyaknya. Sabuk resapan ini secara tidak langsung saya temukan di Madura saat mendampingi fieldtrip Mahasiswa Spesialis 1 PSDA 10 tahun yang lalu.
VI. SARANA DAN PRASARANA PENGENDALI BANJIR JAKARTA
1. Sarana dan Prasarana yang Sudah / Sedang dibangun
Secara perencanaan yang dituang dalam Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta Tahun 1997 (Revisi Master Plan 1973) dari desain-desain rinci, Jakarta sudah mempunyai sistem pengendalian banjir yang tanggap banjir. Namun demikian semua realisasi fisik operasi dan pemeliharaan berpulang pada kita sendiri yang tidak komit dan konsisten. Perlu kerja keras dan kemauan politik dari pemerintah Pusat, Propinsi, dan Daerah Kabupaten / Kota sekitar Jakarta
Sarana dan prasarana pengendali banjir Jakarta adalah membangun jaringan drainase yaitu
• Cengkareng Drain Kapasitas 390 m3/det
• Drainase Angke kapasitas 150 m3/det
• Drainase Grogol kapasitas 55 m3/det
• Drainase Grogol Bawah kapasitas 70 m3/det
• Banjir kanal melalui pintu Krukut 6 unit pompa kapasitas: 400 m3/det
• Banjir kanal melalui pintu mangarai kapasitas: 290 m3/det
• Instalasi pompa Kali Cideng kapasitas 37,2 m3/det
• Drainase Sunter Barat kapasitas 76 m3/det
• Drainase Sunter kapasitas 190 m3/det
• Drainase Cakung (8 unit pompa) kapasitas 180 m3/det
• Drainase Cakung Lama kapasitas 50 m3/det
• Drainase Marunda kapasitas 55 m3/det
• Pompa Pluit Polder kapasitas 44,6 m3/det
• Banjir Kanal Timur kapasitas 370 m3/det
2. Sejarah Banjir Kanal Barat dan Perkembangannya
Banjir Kanal Barat dibangun antara tahun 1919 – 1920, dilaksanakan atas gagasan Prof. Ir. Van Breen, yang berupa berupa pembuatan kanal dari Manggarai sampai Muara Angke dengan panjang saluran 17,3 km yang mengubah aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, agar tidak melalui tengah kota, tetapi mengelilingi Kota Jakarta bagian Barat. Disamping itu sebagai pengatur banjir di bangunan Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Banjir Kanal Barat dengan elevasi tinggi muka air maksimum 6,30 m pada bagian hulu dan 0,00 m dari permukaan laut pada bagian muara, lebar 40 meter dengan daya tampung normal 220 m3/detik. Ketika diadakan evaluasi pengendalian banjir pada tahun 1997, diputuskan akan diperlebar dari 40 meter menjadi 68 meter agar dapat menampung banjir dengan daya angkut 570 m3/detik. Ketika terjadi banjir di Jakarta tahun 1996, Banjir Kanal Barat yang memiIiki daya tampung maksimum 370 m3/detik tidak dapat menampung volume banjir yang mencapai 570 m3/det.
Namun demikian, hingga saat ini usaha pelebaran belum terealisasikan mengingat adanya kesulitan terutama dalam pembebasan tanah dan hal ini juga disebabkan daerah-daerah yang terletak di pinggir sepanjang Banjir Kanal Barat terdapat permukiman penduduk.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
• Banjir jakarta penyebabnya adalah kondisi fisik, prasarana dan sarana yang kurang, hujan / banjir lokal, banjir kiriman, air pasang, MSL rising, subsidence dan perilaku penduduk Jakarta (tinggal di bantaran, sampah, pemeliharaan saluran, kepatuhan dan lain-lain)
• Banjir Jakarta dapat diprediksi frekuensi (kejadian) dan berarnya, banyak hasil studi dan penelitian yang mendukung dan menjelaskan.
• Master Plan dan perencanaan rinci pengendalian banjir Jakarta sudah baik dan tanggap banjir yang terjadi; ada waduk di hulu, waduk, pengelak banjir, pintu air, pompa, polder dll, seperti tertuang pada Master Plan 1997.
• Kelemahan adalah pelaksanaan dan pemeliharaan, yang tidak konsisten dan tidak berkelanjutan (ustainable).
2. Saran
• Realisasi infrastruktur pengendali banjir Jakarta harus sesuai dengan perencanaan master plannya, dan desain rinci yang telah dibuat dan harus konsisten serta berkelanjuran
• Waduk tampungan di hulu Jakarta yang sudah didisain rinci harus segera dibangun
• Perlu dikembangkan dan dibangun waduk-waduk resapan di bagian tengah DAS Ciliwung atau di kawasan hulu DKI.
• Perlu koordinasi semua pihak (stakeholder) dan jika perlu dibentuk Badan Otoritas khusus penanganan banjir dan kekeringan wilayah Jakarta dan sekitarnya •(Jabodetabek / Mega Politan)
LITERATUR
1. Arfin, 2002, ”Studi Debit Banjir Sungai-Sungai di Jakarta, dalam kaitan pengendalian Banjir DKI Jakarta”, Thesis Magister PSDA ITB – PU.
2. Tunggul Sutan Haji, 2005, ”Integrasi model hidrologi Sebar Keruangan dan Sistem Informasi Geografis untuk Prognosa Banjir Daerah Aliran Sungai.” Disertasi Doktor Sipil ITB
3. Bambang Priyambodo, 2005, ”Dinamika Banjir Jakarta yang dipengaruhi Sea Water Level Rising dan Land Subsidence”, Desertasi Doktor Sipil ITB
4. Sri Legowo dan Enri Damanhuri 1992, “Penelitian Sarana dan Prasarana Drainase Kota-Kota Besar di Pantai.” Penelitian ITB.
5. Sri Legowo & Teddy S 2003. “Waduk Resapan sebagai Alternatif Pengendalian Banjir dan Kekeringan”, Penelitian Ristek.
6. Sri Legowo, 2005. “Penelitian Sabuk Resapan sebagai Alternatif Media Lahan Resapan pada Lahan Terasering”, Penelitian KK TSA ITB.
Dr. Ir. Sri Legowo Wignyo Darsono Kelompok Keilmuan Teknik Sumberdaya Air Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan Institut Teknologi Bandung
Sumber: www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air/wp-content/uploads/2007/09/ banjir-dan-kekeringan.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar